Dahulu dibanggakan, sekarang disalahgunakan, kelak di kemudian hari hanya sebagai kenangan.
Begitu membaca “kalimat yang tidak lengkap” tersebut, mungkin dalam
benak pembaca akan terlintas prasangka bahwa orang yang menulisnya
adalah seorang pembenci bahasa. “Mengapa muncul ekspektasi yang sedemikian
buruk terhadap bahasa milik bangsa sendiri?”. Namun, di samping kalimat
tersebut yang (mungkin) terasa agak kasar untuk diucapkan, sesungguhnya kalimat tersebut cukup
realistis dikemukakan berdasarkan fakta empiris dewasa ini.
Dahulu, Bahasa
Indonesia, yang memiliki nilai historis dan sarat makna itu, sangat dibanggakan oleh seluruh
elemen bangsa ini. Terlepas dari masih banyaknya misteri terkait sejarah
terciptanya Bahasa Indonesia itu sendiri, bahasa negara kita tersebut -pada era sebelum sekarang ini- terbukti sangat dicintai oleh
penggunanya. Sebagai buktinya, penulis merasa terhormat untuk menampilkan
kutipan sebagian hasil Kongres Pemuda II berikut, yang lebih familiar di
telinga kita sebagai Sumpah Pemuda.
Dalam teks tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa putra dan putri Indonesia
menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Penulis melihat
bahwa penggunaan kata “menjunjung” di sini sudah tepat, dan "dalam" sekali
maknanya. Hal ini mungkin karena kalimat tersebut dibuat oleh
orang-orang yang benar-benar ikhlas, tanpa suatu tendensi pribadi,
berjuang untuk mempersatukan Indonesia.
Kata kerja
“menjunjung” dalam kalimat tersebut dapat berarti bahwa sebagai rakyat
Indonesia kita menghormati Bahasa Indonesia, di samping tetap
melestarikan bahasa daerah masing-masing. Artinya, apabila pada waktu
itu ada pertemuan yang dihadiri berbagai suku, bahasa yang digunakan
adalah Bahasa Indonesia guna mempermudah pemahaman sekaligus mempererat persatuan.
Selain itu, kata
kerja “menjunjung” juga dapat berarti kita harus khidmat,
memuliakan, dan menaati Bahasa Indonesia. Maksudnya, ketika menggunakan
Bahasa Indonesia kita sudah semestinya memperhatikan kaidah yang
berlaku, terutama dalam hal yang berbau akademis. Hal ini bukan berarti
kita orang yang kaku, tetapi lebih berarti bahwa kita menghargai Sumpah
Pemuda sebagai salah faktor dominan sehingga kita berada dalam keadaan
tidak terjajah seperti sekarang ini.
Namun, jika kita
mengamati peristiwa yang terjadi sekarang ini, khususnya dalam dunia
akademis, yang tentunya paling layak dan logis untuk merepresentasikan kondisi
kemajuan bangsa di masa yang akan datang, kita akan mendapati suatu hal
yang sangat memprihatinkan.
Sebagai tenaga pengajar, guru hendaknya sudah
terbiasa melazimkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar
khususnya ketika mengajar. Akan tetapi, sekarang ini jumlah guru yang
menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar mungkin dapat
dihitung dengan jari. Padahal, di dalam
kedudukannya sebagai bahasa negara, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai
bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Dalam buku-buku penulis lainnya
yang peduli akan pentingnya Bahasa Indonesia juga banyak yang
mengungkapkan fungsi tersebut.
Mahasiswa dan
pelajar juga setali tiga uang dengan gurunya. Mulai dari dialog
sehari-hari, debat, menulis jawaban ujian, bahkan yang lebih parah dalam
penulisan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan suatu jenjang
pendidikan, Bahasa Indonesia yang digunakan sungguh amburadul. Padahal,
jika ditanya perihal grammar dalam Bahasa Inggrisnya, mereka
sudah sangat fasih. Seakan civitas akademika sekarang ini lebih peduli
terhadap bahasa orang lain daripada bahasa sendiri.
Apakah sedemikian hebatnya implikasi dari globalisasi dan modernisasi sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar (pada tempatnya)? Lantas bagaimana dengan
pengorbanan dan perjuangan pahlawan untuk membuat Bahasa Indonesia itu
sendiri?
Penulis merasa pembahasan mengenai topik tersebut sudah lebih dari
cukup. Terlepas dari banyaknya fakta memprihatinkan dalam tulisan
tersebut, hal inti yang ingin penulis sampaikan adalah mari kita cintai
Bahasa Indonesia kita. Bahasa yang terlahir dengan semangat keikhlasan
para pejuang. Mari kita mulai dari diri kita sendiri, mulai dari waktu
sekarang ini, khususnya bagi segenap civitas akademika. Sudah sejak
zaman sekolah dasar kita telah diajarkan bahwa bahasa menunjukkan jati diri bangsa.
Namun, kita mungkin jarang diingatkan bahwa yang lebih penting adalah
bahasa menunjukkan siapa diri kita. Kita sudah bukan anak kecil lagi bukan? :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar