A. Prolog
Arus modernisasi dan globalisasi membawa pengaruh signifikan bagi kehidupan manusia. Entah itu positif atau negatif, progress atau regress, modernisasi dan globalisasi mendorong terjadinya perubahan hampir di seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali aspek sosial dan budaya (socio – cultural). Dari sinilah setiap bangsa dan negara di dunia menghadapi kewajiban ganda, yakni melestarikan warisan budaya bangsa dan membangun kebudayaan nasional yang modern. Bagi Indonesia, tujuan akhir dari kedua usaha ini adalah untuk mencapai suatu masyarakat modern yang sesuai dengan tipikal bangsa Indonesia, artinya masyarakat yang tidak hanya mampu membangun dirinya sederajat dengan bangsa lain, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan kemerosotan mutu lingkungan hidup akibat arus ilmu dan teknologi modern maupun dalam menghadapi tren global.
Menarik untuk dianalisa adalah bagaimana peran, fungsi, dan kedudukan pemuda dalam menghadapi perubahan sosio-cultural akibat arus modernisasi dan globalisasi.
Ambil contoh banyaknya kasus kriminal yang hampir selalu melibatkan pemuda didalamnya, seperti pencurian, narkoba, trafficking, pelecehan seksual, perkosaan, free-sex, aborsi, hamil diluar nikah, dan lain sebagainya. Masalah sosial budaya adalah sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan; yakni suatu kondisi yang tidak diinginkan sebagian besar warga masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan dan nilai. Hampir sama dengan itu, patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, keadaan yang merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota masyarakat. Fenomena di atas menunjukkan betapa kronis dekadensi dan degradasi moral pemuda saat ini. Seolah-olah hal semacam itu menjadi normatif di mata masyarakat. Disadari atau tidak, masyarakat digiring pada sikap permissive dalam segala hal, meski mereka tahu tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial. Kemudian solusi alternatif apakah yang diberikan oleh Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh pemuda saat ini?
Ambil contoh banyaknya kasus kriminal yang hampir selalu melibatkan pemuda didalamnya, seperti pencurian, narkoba, trafficking, pelecehan seksual, perkosaan, free-sex, aborsi, hamil diluar nikah, dan lain sebagainya. Masalah sosial budaya adalah sebuah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan; yakni suatu kondisi yang tidak diinginkan sebagian besar warga masyarakat karena tidak sesuai dengan harapan dan nilai. Hampir sama dengan itu, patologi sosial adalah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, keadaan yang merintangi pemuasan keinginan fundamental dari anggota masyarakat. Fenomena di atas menunjukkan betapa kronis dekadensi dan degradasi moral pemuda saat ini. Seolah-olah hal semacam itu menjadi normatif di mata masyarakat. Disadari atau tidak, masyarakat digiring pada sikap permissive dalam segala hal, meski mereka tahu tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial. Kemudian solusi alternatif apakah yang diberikan oleh Islam dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh pemuda saat ini?
B. Transformasi Sosial-Budaya
Sosial adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat baik berupa sifat maupun perilaku hingga meliputi perkembangannya , sedangkan budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Dilihat dari proses untuk melakukan studi masalah sosial-budaya maupun upaya penanganan masalahnya, dikenal adanya tiga tahap: identifikasi, diagnosis, dan treatment. Tahap identifikasi merupakan tahap untuk membuka kesadaran dan keyakinan, dengan memberikan awareness, dan mengubah masalah sosial latent menjadi manifest. Tahap diagnosis merupakan tahap untuk mencari dan mempelajari latar belakang masalah, faktor yang terkait yang menjadi sumber masalah. Sedangkan tahap treatment merupakan tahap upaya pemecahan masalah sosial yang didasari dari hasil tahap diagnosis.
Kebudayaan mengalami perubahan yang sejalan dengan perkembangan manusia dan dimaksudkan untuk kepentingan manusia sendiri, karena kebudayaan diciptakan oleh, dari, dan untuk manusia. Perubahan sosial merupakan ciri khas semua masyarakat dan kebudayaan, baik tradisional maupun modern, yang tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebudayaan, karena kebudayaan merupakan hasil rekayasa yang diciptakan oleh masyarakat sosial. Tidak akan ada kebudayaan apabila tidak ada masyarakat yang mendukungnya, tidak ada satupun masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan.
Transformasi adalah perubahan rupa baik berupa bentuk maupun sifat , dari suatu sistem dan struktur sosial budaya tradisional atau lama menjadi bentuk baru yang lebih modern. Terdapat satu proses modifikasi pola dan bentuk pada peri kelakuan masyarakat baik itu materil-moril. Dengan demikian, transformasi sosio-cultural merupakan proses kausal terjadinya perubahan pada struktur budaya, struktur sosial, dan struktur teknik yang didukung adanya sentimen kolektif dalam struktur internal umat yang didasari oleh iman. Adapun tanda-tanda perubahan sosial-budaya diantaranya yaitu:
(1) differential social organization atau perbedaan organisasi sosial;
(2) individualism politic-economy atau individu yang berorientasi ekonomi-politik;
(3) mobility; dan
(4) culture conflict atau konflik budaya.
Dalam pemikiran Islam sendiri, perubahan sosial-budaya itu berkelut dalam tiga hal:
1. Konsep Westernisasi (al-fikrah at-taghriby), konsep yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran Barat dalam berbagai aspeknya, sebagai contoh gerakan Islamisasi ala Kamar Ataturk.
2. Konsep Modernisasi (al-fikrah at-tajaddudi), konsep yang ingin mengadakan pembaruan-pembaruan dalam pemahaman, penafsiran, dan perumusan masalah-masalah Islam, dengan pretensi ingin mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan modern, hal ini ditandai dengan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya.
3. Konsep Reformis (al-fikrah at-tajdidi), konsep yang ingin memperbarui Islam dengan Islam, contoh model pemikiran ini adalah pemikiran model Ibn Taimiyah yang sekarang mulai mencuat kembali.
Transformasi adalah perubahan rupa baik berupa bentuk maupun sifat , dari suatu sistem dan struktur sosial budaya tradisional atau lama menjadi bentuk baru yang lebih modern. Terdapat satu proses modifikasi pola dan bentuk pada peri kelakuan masyarakat baik itu materil-moril. Dengan demikian, transformasi sosio-cultural merupakan proses kausal terjadinya perubahan pada struktur budaya, struktur sosial, dan struktur teknik yang didukung adanya sentimen kolektif dalam struktur internal umat yang didasari oleh iman. Adapun tanda-tanda perubahan sosial-budaya diantaranya yaitu:
(1) differential social organization atau perbedaan organisasi sosial;
(2) individualism politic-economy atau individu yang berorientasi ekonomi-politik;
(3) mobility; dan
(4) culture conflict atau konflik budaya.
Dalam pemikiran Islam sendiri, perubahan sosial-budaya itu berkelut dalam tiga hal:
1. Konsep Westernisasi (al-fikrah at-taghriby), konsep yang menginginkan penyesuaian Islam dengan pemikiran Barat dalam berbagai aspeknya, sebagai contoh gerakan Islamisasi ala Kamar Ataturk.
2. Konsep Modernisasi (al-fikrah at-tajaddudi), konsep yang ingin mengadakan pembaruan-pembaruan dalam pemahaman, penafsiran, dan perumusan masalah-masalah Islam, dengan pretensi ingin mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan modern, hal ini ditandai dengan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya.
3. Konsep Reformis (al-fikrah at-tajdidi), konsep yang ingin memperbarui Islam dengan Islam, contoh model pemikiran ini adalah pemikiran model Ibn Taimiyah yang sekarang mulai mencuat kembali.
C. Genealogi Pemuda
Umumnya, pengertian kaum muda dihubungkan dengan kategori usia yang secara biologis terletak di antara masa anak-anak dan dewasa yang mana (dalam keluarga) masa anak-anak sangat bergantung dan masa dewasa mulai mandiri adalah periode masa transisi untuk mempersiapkan diri lepas dari keluarga. Talcott Parsons menyatakan bahwa tepatnya tidak semata-mata karena faktor usia, melainkan kategori kaum muda merupakan suatu perubahan konstruksi sosial dan budaya terhadapnya muncul pada suatu peristiwa waktu dan di dalam kondisi tertentu pula.
Pemuda sejatinya adalah orang muda (para remaja, pelajar, mahasiswa, dan lain sebagainya yang memiliki jiwa muda), sebagai generasi penerus dari golongan yang tua dan sebagai harapan bangsa. Pola dasar pembinaan dan pembangunan generasi muda ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No: 0323/U/1978 tanggal 28 Oktober 1978 yang disusun berlandaskan:
1) Landasan Idiil : Pancasila
2) Landasan Konstitusional : Undang-Undang Dasar 1945
3) Landasan Strategi : Garis-Garis Besar Haluan Negara
4) Landasan Historis : Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 5) Landasan Normatif : Etika, tata nilai, tradisi luhur yang hidup dalam masyarakat.
Motivasi asas pembinaan dan pengembangan generasi muda ini bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Pemuda tidak dapat terlepas dari potensi dan masalah pribadi masing-masing individu yang sangat kompleks. Artinya, pemuda memiliki kepribadian dan karakter ganda yang mustahil dipisahkan satu sama lain. Implikasi yang muncul berupa paradigma positif dan negatif. Sisi positif berupa potensi dan bakat, sisi negatif berupa masalah dan watak. Ada perubahan keadaan sosial dan budaya terhadap kaum muda dalam keluarga. Secara logis, memang dengan semakin banyak dan beragamnya sarana-sarana yang menunjang hidup di dalam kolektivitas (akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) akan berakibat pada bertambah panjangnya periode kaum muda di dalam mengarungi identitasnya. Kaum muda ini berada pada tahapan yang mengandung unsur mengambang dan kebimbangan kategori yang pada masing-masing masyarakat ada perbedaan dalam persetujuan dan terdapat fragmentasi dalam bersikap pada suatu masyarakat yang sama.
Diantara potensi dan bakat yang dimiliki pemuda yakni: idealisme dan daya kritis; dinamika kreatifitas; keberanian mengambil resiko; optimis dan kegairahan semangat; kemandirian dan disiplin murni; terdidik; plural dalam persatuan dan kesatuan; patriotisme dan nasionalisme; sikap ksatria; dan kemampuan penguasaan ilmu serta teknologi. Adapun masalah dan watak yang ditemukan pemuda antara lain: menurunnya jiwa idealisme, patriotisme, dan nasionalisme; pergaulan bebas; kenakalan remaja yang akut dan belum adanya peraturan perundangan yang menyangkut generasi muda. Selain itu juga karena sikap dan sifat pemuda yang egois dan skeptis menciptakan efek domino berupa ethnocentrism, primordialism, dan hedonism.
D. Budaya Pop dan Subkultur
Arus modernisasi globalisasi membawa implikasi berupa budaya pop dan subkultur dalam kehidupan pemuda. Infiltrasi nilai-nilai sosial budaya yang tidak mampu membedakan antara positif-negatif akhirnya membawa masalah baru berupa semakin kaburnya identitas diri suatu bangsa. Proses akulturasi-asimilasi antara budaya tradisional dengan modern menciptakan social gap bagi kehidupan suatu bangsa. Budaya pop secara sederhana dapat artikan sebagai teks-teks publik yang sudah tersebar luas (bersifat umum) antara gugus makna dan praktek yang diproduksi telah merakyat atau ‘populer’ . ‘Populer’ dalam konteks socio-cultural telah melintasi batasan-batasan yang digariskan oleh kekuasaan budaya, sekaligus menguak karakter dan cara menentang pandangan yang mengkontraskan antara high culture dengan low culture. Subkultur secara ringkas dapat dimaknai sebagai kelompok minor yang dilabeli dengan berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dari yang dianut oleh kelompok dominan dalam masyarakat. Hal ini menciptakan dan menawarkan peta makna yang membuat dunia jadi ‘lebih masuk akal’ (intelligible) bagi para anggotanya. Konsep budaya pop dan subkultur merupakan hal berdaya mobilitas (karena mengkonstitusi objeknya dari suatu studi) berupa suatu istilah klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial di dalam suatu tindakan terhadap representasi.
1) Landasan Idiil : Pancasila
2) Landasan Konstitusional : Undang-Undang Dasar 1945
3) Landasan Strategi : Garis-Garis Besar Haluan Negara
4) Landasan Historis : Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 5) Landasan Normatif : Etika, tata nilai, tradisi luhur yang hidup dalam masyarakat.
Motivasi asas pembinaan dan pengembangan generasi muda ini bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Pemuda tidak dapat terlepas dari potensi dan masalah pribadi masing-masing individu yang sangat kompleks. Artinya, pemuda memiliki kepribadian dan karakter ganda yang mustahil dipisahkan satu sama lain. Implikasi yang muncul berupa paradigma positif dan negatif. Sisi positif berupa potensi dan bakat, sisi negatif berupa masalah dan watak. Ada perubahan keadaan sosial dan budaya terhadap kaum muda dalam keluarga. Secara logis, memang dengan semakin banyak dan beragamnya sarana-sarana yang menunjang hidup di dalam kolektivitas (akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) akan berakibat pada bertambah panjangnya periode kaum muda di dalam mengarungi identitasnya. Kaum muda ini berada pada tahapan yang mengandung unsur mengambang dan kebimbangan kategori yang pada masing-masing masyarakat ada perbedaan dalam persetujuan dan terdapat fragmentasi dalam bersikap pada suatu masyarakat yang sama.
Diantara potensi dan bakat yang dimiliki pemuda yakni: idealisme dan daya kritis; dinamika kreatifitas; keberanian mengambil resiko; optimis dan kegairahan semangat; kemandirian dan disiplin murni; terdidik; plural dalam persatuan dan kesatuan; patriotisme dan nasionalisme; sikap ksatria; dan kemampuan penguasaan ilmu serta teknologi. Adapun masalah dan watak yang ditemukan pemuda antara lain: menurunnya jiwa idealisme, patriotisme, dan nasionalisme; pergaulan bebas; kenakalan remaja yang akut dan belum adanya peraturan perundangan yang menyangkut generasi muda. Selain itu juga karena sikap dan sifat pemuda yang egois dan skeptis menciptakan efek domino berupa ethnocentrism, primordialism, dan hedonism.
D. Budaya Pop dan Subkultur
Arus modernisasi globalisasi membawa implikasi berupa budaya pop dan subkultur dalam kehidupan pemuda. Infiltrasi nilai-nilai sosial budaya yang tidak mampu membedakan antara positif-negatif akhirnya membawa masalah baru berupa semakin kaburnya identitas diri suatu bangsa. Proses akulturasi-asimilasi antara budaya tradisional dengan modern menciptakan social gap bagi kehidupan suatu bangsa. Budaya pop secara sederhana dapat artikan sebagai teks-teks publik yang sudah tersebar luas (bersifat umum) antara gugus makna dan praktek yang diproduksi telah merakyat atau ‘populer’ . ‘Populer’ dalam konteks socio-cultural telah melintasi batasan-batasan yang digariskan oleh kekuasaan budaya, sekaligus menguak karakter dan cara menentang pandangan yang mengkontraskan antara high culture dengan low culture. Subkultur secara ringkas dapat dimaknai sebagai kelompok minor yang dilabeli dengan berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dari yang dianut oleh kelompok dominan dalam masyarakat. Hal ini menciptakan dan menawarkan peta makna yang membuat dunia jadi ‘lebih masuk akal’ (intelligible) bagi para anggotanya. Konsep budaya pop dan subkultur merupakan hal berdaya mobilitas (karena mengkonstitusi objeknya dari suatu studi) berupa suatu istilah klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial di dalam suatu tindakan terhadap representasi.
E. Epilog
Transformasi sosial-budaya yang diakibatkan oleh globalisasi dan modernisasi dewasa ini, mungkin Ilmu Sosial Profetik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif jawaban yang cukup masuk akal. Dalam konteks Islam, pemuda merupakan salah satu elemen dalam masyarakat yang seharusnya mampu berperan aktif dalam hidup dan kehidupannya di suatu masyarakat sosial. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur'an:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.s. Ali Imran [3]: 110).
Potongan ayat 1-3 surat Ali Imron di atas merupakan landasan dari Sosial Profetik, yakni ilmu sosial yang digali dari nilai-nilai agama, tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa; ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik tertentu, yakni kemanusiaan, liberasi, dan trasendensi. Dari ayat di atas terdapat tiga unsur etika profetik: humanisasi, liberasi, dan trasendensi yang merupakan derivasi dari sistem nilai yang terdapat pada kata amar ma’ruf, nahi munkar dan tu’minu billah. Ketiga unsur ini dijadikan pijakan dalam merumuskan ilmu sosial profetik sebagai paradigma baru umat Islam dalam memasuki periode transformasi socio-cultural.
1. Humanisasi
Dalam bahasa agama, konsep humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar al-ma’ruf, yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Amar al-Ma’ruf dimaksudkan untuk mengangkat dimensi dan potensi positif (ma’ruf) manusia untuk mengemansipasi manusia kepada nur atau cahaya Ilahi dalam rangka mencapai keadaan fitrah. Dalam bahasa ilmu, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan ‘kebendaan’, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia yang berakar pada humanisme-teosentris, artinya manusia harus memusatkan diri pada Allah dengan tujuan untuk kepentingan manusia sendiri. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam keadaan akut, yaitu: dehumanize, aggressive, dan loneliness.
2. Liberasi
Dalam bahasa agama, nahi munkar berarti melarang atau mencegah segala tindak kejahatan yang merusak. Sedang dalam bahasa ilmu (bukan konteks ideologis), nahi munkar berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Empat sasaran liberasi yaitu: sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
3. Transendensi
Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minu billah atau beriman kepada Allah, merupakan unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang terkandung dalam ilmu sosial profetik sekaligus menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi. Dalam memaknai trasendensi terdapat tiga perspektik global: (1) mengakui ketergantungan manusia kepada penciptanya; (2) mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan dan manusia; dan (3) mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.s. Ali Imran [3]: 110).
Potongan ayat 1-3 surat Ali Imron di atas merupakan landasan dari Sosial Profetik, yakni ilmu sosial yang digali dari nilai-nilai agama, tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa; ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik tertentu, yakni kemanusiaan, liberasi, dan trasendensi. Dari ayat di atas terdapat tiga unsur etika profetik: humanisasi, liberasi, dan trasendensi yang merupakan derivasi dari sistem nilai yang terdapat pada kata amar ma’ruf, nahi munkar dan tu’minu billah. Ketiga unsur ini dijadikan pijakan dalam merumuskan ilmu sosial profetik sebagai paradigma baru umat Islam dalam memasuki periode transformasi socio-cultural.
1. Humanisasi
Dalam bahasa agama, konsep humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar al-ma’ruf, yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Amar al-Ma’ruf dimaksudkan untuk mengangkat dimensi dan potensi positif (ma’ruf) manusia untuk mengemansipasi manusia kepada nur atau cahaya Ilahi dalam rangka mencapai keadaan fitrah. Dalam bahasa ilmu, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan ‘kebendaan’, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia yang berakar pada humanisme-teosentris, artinya manusia harus memusatkan diri pada Allah dengan tujuan untuk kepentingan manusia sendiri. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam keadaan akut, yaitu: dehumanize, aggressive, dan loneliness.
2. Liberasi
Dalam bahasa agama, nahi munkar berarti melarang atau mencegah segala tindak kejahatan yang merusak. Sedang dalam bahasa ilmu (bukan konteks ideologis), nahi munkar berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Empat sasaran liberasi yaitu: sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.
3. Transendensi
Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minu billah atau beriman kepada Allah, merupakan unsur terpenting dari ajaran sosial Islam yang terkandung dalam ilmu sosial profetik sekaligus menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi. Dalam memaknai trasendensi terdapat tiga perspektik global: (1) mengakui ketergantungan manusia kepada penciptanya; (2) mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan dan manusia; dan (3) mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia.
Endnotes:
1) Elly M. Setiadi, et al, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2008.
2) Indra Siswarini, “Memahami Peradaban dan Dinamika Peradaban Indonesia Menghadapi Globalisasi”, makalah lokakarya ISBD, Dikti Depdiknas Batam, tidak diterbitkan.
3) Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2008.
4) B. Simandjuntak, Perubahan Sosio Kultural (Bandung: Tarsito), 1980.
5) Pius A. Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola), 1994.
6) B. N. Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), 1996.
7) M. Fahmi, Islam Transendental: Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Pilar Media), 2005.
8) Androe Soedibyo, Kaum Muda, Gaya Hidup, dan Penolakan, dalam
Mudji Sutrisno et al, Cultural Studies:
Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, (Depok:
Koekosan) t.t., 155.
9) Talcott Parsons, Youth in The Context of American Society, t.t., t.p., 1963.
10) “Pemuda Islam”, online, http://www.syahadat.com/artikel/214, 17 November 2008, diakses tanggal 29 Juni 2009.
11) Mawardi & Nur Hidayati, IAD-ISD-IBD, (Bandung: Pustaka Setia), 2002.
12) Mudji Sutrisno et al, Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, (Depok: Koekosan) t.t.
13) Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya: Al-Jumanatul ‘Ali, Seuntai Mutiara yang Luhur. Bandung: Jumanatul ‘Ali-Art (J-Art), 2005.
14) Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), 1991.
15) Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar