Hari ini terasa begitu berbeda, ada
bagian yang hilang dariku. Dingin, hampa, sunyi, senyap, sepi. Sangat
menyesakkan di dada, aku merasa seperti penderita asma, nafasku naik
turun, tak beraturan, tak sistematis. Mataku terpejam, entah untuk
mencoba menikmati atau menjawab perasaan ini, perasaan yang tak
pernah aku rasakan sebelumnya. Pikiranku penuh dengan beragam
pertanyaan. Apa ini? Kenapa terjadi? Bagaimana caranya? Keringat
dingin mulai membasahi seluruh pori-pori tubuhku. Gemetar hebat
laksana gempa bumi yang menggoyangkan daratan dan lautan dengan
segenap kekuatannya. Dalam sekejap aku merasa seringan kapas,
dipermainkan angin semilir, berputar-putar di langit cerah, lalu
jatuh tertunduk seperti seonggok sampah. Sekujur tubuhku lemas, tanpa
hasrat, tanpa gairah, tanpa energi.
Hari ini terasa begitu berbeda, ada
bagian yang hilang dari diriku. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku
berusaha mengumpulkan kesadaranku sedikit demi sedikit. Namun semua
terlihat percuma, tubuhku statis, terbujur kaku, sendiku lumpuh,
tulangku ngilu. Tanganku meraih Nokia 1209, si jadul kelahiran 2008
yang mungkin bagi kalian terdengar jadul, kuno, atau apalah. Mataku
terbuka meski seperempat, samar-samar kulihat jam digital di layar menunjuk angka 01.45 WIB. Kuambil nafas panjang hingga terasa sesak dadaku, lalu kuhela sekuat tenaga untuk mengumpulkan satu persatu kepingan kesadaranku. Helai udara disekitarku perlahan-lahan membangunkanku dari tidur lelapku. "Ini bukan mimpi", ujarku lirih. "Subhanallah, kuatkan aku", lanjutku seraya mengusap wajahku.
Hari ini terasa begitu berbeda. Kuluruskan kedua kakiku, mencoba melemaskan seluruh otot yang terasa begitu kaku. Diterangi sebuah lampu neon 15 watt aku memutar badan, menggerakkan kepalaku ke semua arah. Demi menenangkan hati dan perasaan aneh ini, aku paksakan tubuhku untuk beranjak mengambil air wudhu. Langkahku terasa berat, begitu berat. Entah karena tubuhku belum merespon pikiranku atau karena kantuk masih merayuku. Tangan kananku membuka kran air di kamar mandi, suara mesin pompa air menderu bising, memecah keheningan malam. Kuambil air wudhu dengan mengucap niat, khidmat, begitu khusyu', seakan setan pun ragu, bahkan takut mendekatiku. Air yang seharusnya terasa dingin entah kenapa begitu hangat membasuh seluruh tubuhku. Tanpa membuang waktu segera kulilitkan sarung hadiah Idul Fitri tahun lalu dari Bunda. Rajutan benang yang rapi mampu menciptakan kain yang begitu halus dan lembut. Ketika mengucap salam, hatiku terasa begitu damai, begitu tenang. Aku duduk bersimpuh di atas sajadah menghadap-Mu, berharap keridhoan-Mu menerima sujudku. Dengan niat ikhlas aku ucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim...
"Hanya linangan air mata yang berderai, hanya bentangan kesedihan yang terbuai, hanya satu demi satu cobaan dan ujian yang kini terus menggerogoti keimanan hingga akhirnya mungkin harus hilang dan lengkang dari diri, lalu kutemukan sebuah pintu tanpa batasan cahaya keimanan", lirihku.
Aku masih meratapi hari-hariku, hanya bisa menunggu tanpa tahu sampai kapan ada satu batas waktu. Yang akan mempertemukanku dengan kemanisan iman. Yang akan mempertemukanku dengan keceriaan senja berbalut cahaya surga. Nafas serasa tersengal. Semua berubah laksana neraka yang telah mendahului untuk hadir di dunia. Hadir dalam hidupku yang malang, hadir dalam satu sisi kisah tanpa ada sedikitpun ruang ataupun waktu untuk berhenti sejenak. Lepas dari satu masalah, maka bagaikan antrian panjang para calon penumpang kereta, masalah lain pun kembali hadir dalam hari-hariku. Mengisi ruang sisi yang kelam. Aku hanya terdiam. Tak tahu lagi apa yang harus aku cari, tak tahu lagi apa yang harus aku kejar. Semua terasa menjauh, bahkan satu harapan pun untuk mendapati-Nya begitu sulit aku dapatkan. "Ah ..., kemana aku harus mencari-Mu?, dimana keadilan-Mu?, dimana janji-Mu yang akan mendekat ketika aku berusaha mendekat kepada-Mu?", lanjutku penuh rasa putus asa.
Dunia serasa hadir bak sebuah dua mata pisau yang selalu akan menghadirkan luka ketika kemanapun ia arahkan dalam diri kita. Beribu masalah terus menerus hadir tak terselesaikan. Tak ada pangeran penolong yang hadir untuk membawanya lari dari jurang derita dan lari menuju satu babak kehidupan penuh bahagia. Yang ada hanyalah satu demi satu kekejaman yang selalu datang silih berganti. Bahkan satu sisi keberadaan Ia sang maha kuasa, Alloh SWT -pun tak pernah ada. Dan kalaupun ada hanya muncul dibagian akhir rentetan episode-episode kehidupan kita yang telah mengurai segala derita. Tidak ada perlawanan, tidak ada perjuangan. Semua lemah layaknya satu nyawa yang tak berkutik dan kalah serta terhempas ketika menemui masa-masa kesulitan dalam dirinya. Bukan hanya diriku semata, terkadang justru seorang yang akan sangat paham tentang keilmuan-pun, baik itu pemahaman tentang satu sisi keilmuan tentang kehidupan, maupun tentang keagamaan, ketika terus menerus disuguhi akan satu hal yang selalu berlatar sama tentang ketidakadilan, terus menerus diberikan cobaan, terus menerus diuji kesabarannya, maka bukanlah tidak mungkin, bukan sesuatu yang mustahil, ketika sedikit demi sedikit akan mempengaruhi jiwa-jiwa mereka dalam mempertanyakan, "Benarkah semua ini terjadi?".
"Hanya linangan air mata yang berderai, hanya bentangan kesedihan yang terbuai, hanya satu demi satu cobaan dan ujian yang kini terus menggerogoti keimanan hingga akhirnya mungkin harus hilang dan lengkang dari diri, lalu kutemukan sebuah pintu tanpa batasan cahaya keimanan", lirihku.
Aku masih meratapi hari-hariku, hanya bisa menunggu tanpa tahu sampai kapan ada satu batas waktu. Yang akan mempertemukanku dengan kemanisan iman. Yang akan mempertemukanku dengan keceriaan senja berbalut cahaya surga. Nafas serasa tersengal. Semua berubah laksana neraka yang telah mendahului untuk hadir di dunia. Hadir dalam hidupku yang malang, hadir dalam satu sisi kisah tanpa ada sedikitpun ruang ataupun waktu untuk berhenti sejenak. Lepas dari satu masalah, maka bagaikan antrian panjang para calon penumpang kereta, masalah lain pun kembali hadir dalam hari-hariku. Mengisi ruang sisi yang kelam. Aku hanya terdiam. Tak tahu lagi apa yang harus aku cari, tak tahu lagi apa yang harus aku kejar. Semua terasa menjauh, bahkan satu harapan pun untuk mendapati-Nya begitu sulit aku dapatkan. "Ah ..., kemana aku harus mencari-Mu?, dimana keadilan-Mu?, dimana janji-Mu yang akan mendekat ketika aku berusaha mendekat kepada-Mu?", lanjutku penuh rasa putus asa.
Dunia serasa hadir bak sebuah dua mata pisau yang selalu akan menghadirkan luka ketika kemanapun ia arahkan dalam diri kita. Beribu masalah terus menerus hadir tak terselesaikan. Tak ada pangeran penolong yang hadir untuk membawanya lari dari jurang derita dan lari menuju satu babak kehidupan penuh bahagia. Yang ada hanyalah satu demi satu kekejaman yang selalu datang silih berganti. Bahkan satu sisi keberadaan Ia sang maha kuasa, Alloh SWT -pun tak pernah ada. Dan kalaupun ada hanya muncul dibagian akhir rentetan episode-episode kehidupan kita yang telah mengurai segala derita. Tidak ada perlawanan, tidak ada perjuangan. Semua lemah layaknya satu nyawa yang tak berkutik dan kalah serta terhempas ketika menemui masa-masa kesulitan dalam dirinya. Bukan hanya diriku semata, terkadang justru seorang yang akan sangat paham tentang keilmuan-pun, baik itu pemahaman tentang satu sisi keilmuan tentang kehidupan, maupun tentang keagamaan, ketika terus menerus disuguhi akan satu hal yang selalu berlatar sama tentang ketidakadilan, terus menerus diberikan cobaan, terus menerus diuji kesabarannya, maka bukanlah tidak mungkin, bukan sesuatu yang mustahil, ketika sedikit demi sedikit akan mempengaruhi jiwa-jiwa mereka dalam mempertanyakan, "Benarkah semua ini terjadi?".
Aku mencoba mengumpulkan seluruh ingatanku, memutar waktu, dan kembali ke masa lalu. Tapi sial, aku tak mampu melakukannya. Yang aku bisa lakukan hanya berusaha mengingat kepingan-kepingan memori yang telah menciptakan perasaan aneh ini di otakku. Detik berlalu menjadi menit, menit berganti menjadi jam. Tepat ketika adzan subuh berkumandang aku spontan mengucap "Astaghfirullahaladzim...", baru aku menyadari semua ini tentang apa. Ternyata kamu, kamu, dan kamu. Seseorang yang pernah membuatku merasa menjadi seorang pria dewasa dengan segala tanggung jawabnya. Seseorang yang pernah memberikan ketulusan hati untuk menyayangiku. Seseorang yang pernah menunjukkan keikhlasan yang begitu suci nyaris tanpa cacat. Kamu yang pernah mewarnai hari-hariku selama 5 tahun lebih 8 bulan 21 hari yang lalu. Aku baru ingat jika ternyata hari ini adalah hari bahagiamu, hari bersejarah dalam hidupmu, hari yang selalu kamu nantikan, hari pernikahanmu, ya benar, pernikahanmu. Berjanjilah untukku kamu akan bahagia dengan dia, pilihan orang tuamu. Do'a ku untukmu, semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, warrohmah, amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar